KAMPUNG ADAT KARAMPUANG

Rumah Adat Karampuang Dari Jauh
        Karampuang begitu daerah ini disebut adalah nama sebuah kampung yang berada di kecamatan Bulupoddo terletak sekitar 31 km arah barat Ibu Kota Kabupaten Sinjai propinsi Sulawesi Selatan. memiliki sejarah panjang serta beberapa keunikan yang disandangnya. Segala keunikan itu lahir bersama dengan sejarahnya. Asal Muasal Karampuang ini berawal dari adanya suatu peristiwa besar yakni dengan munculnya seseorang yang tak dikenal, dan dikenal sebagai To Manurung. To Manurung ini muncul di atas sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama Batu Lappa. Dalam Lontara Karampuang dikisahkan bahwa asal mula adanya daratan di Sinjai, berawal di Karampuang.
Dahulu daerah ini adalah merupakan wilayah lautan sehingga yang muncul laiknya tempurung yang tersembul di atas permukaan air. Di puncak Cimbolo inilah muncul To Manurung yang akhirnya digelar Manurung KarampuluE (seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk warga berdiri). Kata KarampuluE tadi akhirnya berubah menjadi Karampuang. Penamaan selanjutnya adalah perpaduan antara karaeng dan puang akibat dijadikannya lokasi itu sebagai pertemuan antara orang-orang Gowa yang bergelar karaeng dan orang-orang Bone yang bergelar puang. Setelah Manurung KarampuluE diangkat oleh warga untuk menjadi raja, maka dia memimpin warga untuk membuka lahan-lahan baru. Tak lama kemudian dia mengumpulkan warganya dan berpesan, eloka tuo, tea mate, eloka madeceng, tea maja; ungkapan ini adalah suatu pesan yang mengisyaratkan kepada warga pendukungnya untuk tetap melestarikan segala tradisinya. Setelah berpesan maka dia tiba-tiba lenyap.

Tak lama kemudian terjadi lagi peristiwa besar yakni dengan hadirnya tujuh to manurung baru yang awalnya muncul cahaya terang di atas busa-busa air. Setelah warga mendatangi busa- busa itu, maka telah muncul tujuh to manurung tadi dan diangkat sebagai pemimpin baru. Pemimpin yang diangkat adalah seorang perempuan sedangkan saudara laki-lakinya diperintahkan untuk menjadi raja di tempat lain dan menjadi to manurung-to manurung baru. Dalam lontara dikatakan,”lao cimbolona, monro capengna”. Pada saat melepaskan saudara-saudaranya, dia berpesan,”nonnono makkale , lembang, numapolo kualinrugai, numatanre kuaccinaungi, makkelo kuakkelori, ualai lisu.” (Turunlah ke daratan datar, namun kebesaranmu kelak harus mampu melindungi Karampuang, raihlah kehormatan namun kehormatan itu kelak turut menaungi leluhurmu. Meskipun demikian segala kehendakmu adalah atas kehendakku juga, kalau tidak, maka kebesaranmu akan aku ambil kembali).

Rumah Adat Karampuang
         Akhirnya mereka menjadi raja di Ellang Mangenre, Bonglangi, Bontona Barua, Carimba, Lante Amuru dan Tassese. Dalam perjalanannya, masing-masing diamanahkan untuk membentuk dua gella. Dengan demikian maka terciptalah 12 gella baru yakni Bulu, Biccu, Salohe, Tanete, Maroanging, Anakarung, Munte, Siung, Sulewatang bulo, Sulewatang salohe, Satengnga, Pangepena Satengna. Setelah saudaranya telah menjadi raja, saudara tertuanya yang tinggal di Karampuang pun lenyap dan meninggalkan sebuah benda. Kelak benda inilah yang dijadikan sebagai arajang dan sampai saat ini disimpan di rumah adat. Sedangkan untuk menghormati to manurung tertua ini, maka rumah adatnya, semuanya dilambangkan dengan simbol perempuan. 


Struktur Lembaga Adat Karampuang

        Sebagai suatu komunitas tradisional, tentunya kehadiran pemimpin sangat dibutuhkan sebagai tokoh yang mampu mengayomi warganya dalam melaksanakan aktivitasnya. Dalam tradisi Karampuang, kepemimpinan diserahkan kepada empat tokoh adat dengan peran yang berbeda-beda. Keempatnya adalah Arung, Ade, Sanro dan Guru. Arung, Ade dan Guru harus dijabat oleh laki- laki, sedangkan Sanro haruslah dijabat oleh perempuan. Keempatnya digambarkan dengan api tettong arung, tana tudang ade, anging rekko sanro serta wae suju guru (empat unsur kehidupan yakni api, tanah, udara dan air). Perpaduan keempat tokoh ini digambarkan sebagai Eppa alliri tetteppona hanuae. Dalam menjalankan aktivitasnya mereka harus tetap kompak dan memutuskan segala persoalan atas kesepakatan bersama. Selain itu, segala keputusan yang telah ditetapkan harus dijaga dan tidak dibolehkan untuk mengubahnya lagi dan diungkapkan dengan kata teppu batu tenrilesang. Akhirnya dipertegas lagi dengan kata-kata de’na lura bicara. Karena posisinya sebagai ade eppa, maka mereka bahu membahu mempertahankan segala tradisi leluhur yang merupakan warisan sekaligus amanah dari To Manurung.

             Namun demikian, sebagai anggota masyarakat dan merupakan bagian dari orang banyak, mereka sekaligus menduduki jabatan yakni sebagai tomatoa, gella, sanro, dan guru. Bagi pengangkat adat, telah digariskan bahwa tomatoa, gella, guru harus dijabat oleh laki-laki sedangkan sanro haruslah perempuan. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai pemimpin masyarakat, maka keempatnya mempunyai pendamping atau pembantu yang disebut dengan bali tudangeng. Arung dalam menjalankan fungsinya sebagai to matoa didampingi oleh seorang ana malolo, yakni sebagai pabbicara dan juga merupakan putra mahkota atau pattola. Kedudukan sebagai pattola ini bukanlah mutlak untuk menjadi pengganti dari arung, tetapi hanya sebagai juru bicara dari arung. Ana malolo tadi tidak mutlak anak dari arung. Tokoh adat lainnya adalah gella. Dalam menjalankan tugasnya, gella dibantu pula oleh seorang ana malolo yang fungsinya sebagai pabbicara. Selain itu, masih dibantu lagi oleh beberapa orang sebagai suro dan pabbilang, yakni ahli dalam bidang- bidang tertentu. Sedangkan sanro dibantu oleh pinati, pappajo, paggenrang dll. Sedangkan guru dibantu oleh katte, bilala dan doja. Selain fungsi sosial, keempatnya diikat lagi oleh fungsi religi yang diungkapkan dengan Mappogau Hanuai Arungnge, Mabbissa Lompoi Gellae, Makkaharui Sanroe, Mattula balai gurue. Dengan demikian, maka keempatnya menjadi pemimpin lagi dalam urusan-urusan ritual. Sebagai contoh pada pelaksanaan pesta adat mappogau hanua, yang menjadi penanggung jawab adalah arung, upacara memulai tanam dan panen dipimpin oleh gella. Upacara-upacara adat kecil seperti mappalesso ase, mabbali sumange dipimpin oleh sanro. Sedangkan maulu dan miraje dipimpin oleh guru.



         Untuk memudahkan menjalankan aktivitasnya, tersedia dua rumah adat yang berfungsi sebagai istana, yaitu to matoa dan sanro harus menempati rumah adat. To matoa dan gella menempati rumah adat gella. Guru dan ana malolo juga mempunyai kamar tersendiri dirumah adat. Hal yang menarik adalah kepemimpinan tradisisonal ini adalah karena apabila salah seorang dari mereka meninggal dunia maka dia tidak boleh dimakamkan sebelum ada penggantinya dan diterima oleh warga atau diungkapkan dengan, engkapa nasappei bajunna atau nanti setelah ada pengganti yang akan mengenakan baju kebesarannya. Dalam menunjuk calon pengganti dari yang meninggal, telah digariskan dengan tegas oleh adat bahwa penggantinya tidak mutlak anak dari tokoh adat yang meninggal, walaupun sangat diharapkan oleh warga dengan ungkapan, teppa raungna ajukkajue, tapi berdasarkan kriteria dan syarat-syarat tertentu, maka keinginan itu bisa saja menjadi lain. Syarat untuk dipilih menjadi pengganti antara lain: mabbali pangngara (telah menikah), deggaga salanna (tidak pernah membuat kesalahan yang merugikan), de’na makkara-kara (tidak sedang berperkara), maummuru (sekitar 35 tahun), paisseng ri adena (paham dengan adat), paisseng ri gau (memahami norma-norma), nacoe (berwibawa) dan mappalece (membujuk). 

   Dalam ketentuan adat telah digariskan bahwa apabila arung yang meninggal, maka yang menentukan calon berdasarkan kriteria dan ketentuan adat di atas adalah gella sebagai orang yang paling dekat dengan rakyat. Sedangkan apabila gella yang meninggal, maka yang mencari pengganti adalah arung. Hal ini diungkapkan dengan, arung mate, gella mpaluki, gella mate arung mpalui, keduanya disebut dengan, mate sibalu, siengka siaddenareng. Tetapi, kalau sanro atau guru yang meninggal maka yang mencari penggantinya adalah arung dan gella. Namun demikian, apabila ada calon yang telah ditetapkan, maka harus oleh warga pendukungnya. Selanjutnya sang mayat barulah dimakamkan setelah baju kebesarannya telah dipasangkan kepada pengganti yang baru. 
    Sekedar Tambahan tempat ini baru saja ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Tim Ahli  Kemendikbud  RI Pada Tanggal 16 Agustus 2018 yang lalu. Jadi bila anda sedang merencanakan liburan jangan lupa berkunjung ke tempat ini.

Badai Timur

Paruh Waktu Blogger Paruh Waktu Pendukung PSM Makassar | Lahir dan besar di salah satu Kabupaten yang menjadi bagian propinsi Sulawesi Selatan. Daerah memiliki julukan Kota Bersatu. Kadang juga disebut Bumi Panrita Kitta.

3 Comments

Previous Post Next Post